Selasa, 15 Mei 2012

Shalat Jumat Bagi Musafir

Apakah shalat Jum’at itu wajib bagi musafir? Bagaimana jika ia berada di kalangan orang mukim? Apakah ia juga mesti mendirikan shalat Jum’at bersama mereka?
Menghadiri shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim kecuali pada lima orang: (1) Budak yang dimiliki, (2) wanita, (3) anak kecil, (4) orrang sakit, dan (5) musafir.
    Mengenai kewajiban menghadiri shalat Jum’at ini sebagaimana disebutkan dalam ayat,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
    Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Jumu’ah: 9).
    Dari Thoriq bin Syihab, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,
    الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
    Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
    Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
    Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir.” (HR. Ad Daruquthni, namun sanadnya dho’if).
    Walaupun hadits di atas dho’if, namun para ulama sepakat bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir. Berikut rinciannya.
    Pertama: Seorang musafir tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at, ia tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at pada saat ia safar, ia juga tidak punya keharusan shalat ketika ia berada di jalan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat Jumat saat safar. Dan tidak ada yang pernah mengetahui beliau melakukannya. Yang dimaksud dalam bahasan kita adalah musafir mendirikan shalat Jumat sendiri. Ini jelas tidak dituntunkan. Jika para musafir mendirikan shalat Jumat bersama mereka sendiri, maka shalatnya tidak sah menurut pendapat empat madzhab.
    Kedua: Jika mereka bisa melakukan shalat Jum’at karena mengikuti orang lain yang dikenai kewajiban Jum’at. Untuk kondisi kala ini, para ulama berselisih pendapat. Ada yang menganggap wajib Jum’at dan jama’ah. Ada yang menyatakan tidak wajib Jum’at dan tidak wajib Jama’ah. Jika musafir dikenakan kewajiban untuk berjama’ah karena mendengar adzan Jum’at, maka di sini pun mereka masih diberi keringanan, tidak sebagaimana orang mukim. Jika punya udzur, seperti kecapekan dan butuh istirahat, maka ia boleh tidak hadir Jum’at. [Disarikan dari http://www.taimiah.org/index.aspx?function=item&id=956&node=4856]
    Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Saya pernah shalat Jum’at dan kala itu saya adalah musafir. Apakah yang kulakukan benar? Jika tidak demikian, apa yang mesti dilakukan?”
    Jawab Syaikh rahimahullah, “Jika seorang musafir shalat Jum’at bersama orang yang mukim, shalat Jum’atnya sah dan ia tidak perlu shalat Zhuhur lagi, alhamdulillah.
    Apakah jama’ah musafir dianjurkan untuk melakukan jam’ah shalat Zhuhur? Jika mereka adalah para musafir, maka diperintahkan untuk shalat Zhuhur sebanyak dua raka’at (secara qoshor). Jika mereka shalat bersama orang-orang yang mukim, maka hendaklah mereka mengerjakan shalat sebagaimana orang mukim. Jika orang mukim melakukan empat raka’at, maka hendaklah mereka pun melakukan demikian. Inilah yang diajarkan dalam ajaran Islam. Namun jika mereka shalat bersama para musafir, maka shalat Zhuhur, Ashar dan Isya dikerjakan sebanyak dua raka’at (secara qoshor) dan qoshor ini yang lebih afdhol. Jika mereka melakukan empat raka’at, maka tidaklah masalah.” [Sumber:http://www.binbaz.org.sa/mat/16374]
    Ringkasnya, shalat Jum’at tidaklah wajib bagi musafir. Bahkan jika mereka membentuk jama’ah untuk mendirikan shalat Jum’at sesama musafir, shalatnya tidak sah. Jika musafir tidak melaksanakan shalat Jum’at, maka diganti dengan shalat Zhuhur 2 raka’at secara qoshor. Namun jika berada di belakang orang mukim, maka ia boleh saja melaksanakan shalat Jum’at bersama mereka dan tidak perlu lagi melaksanakan shalat Zhuhur.
    Wabillahit taufiq.

    Jual Beli Emas Via Internet

    Sebagian orang yang ingin berinvestasi menempuh cara dengan menyimpan uang dalam bentuk emas. Karena emas untuk saat ini lebih stabil. Cara yang ditempuh pun beraneka ragam, di antaranya dengan membelinya via internet. Padahal emas tersebut tidak berada di tangan. Katanya sih, emasnya itu ada. Pokoknya sudah disimpan dan sudah jadi milik si empunya jika telah dibeli. Namun ia sendiri belum pernah melihatnya dengan kasat mata. Islam sendiri telah memberikan aturan dalam jual beli emas. Emas dan perak digolongkan sebagai barang ribawi yang harus terus terpenuhi syarat-syaratnya jika ingin diperjualbelikan.
    Syarat yang Tidak Bisa Ditawar-Tawar
    Syarat yang diberikan oleh Islam dalam jual beli emas (dikenal dengan istilah: shorf) tidak bisa ditawar-tawar, yaitu:
    1. Jika emas ditukar dengan emas, maka syarat yang harus dipenuhi adalah (1) yadan bi yadin (harus tunai), dan (2)mitslan bi mitslin (timbangannya sama meskipun beda kualitas).
    2. Jika emas ditukar dengan uang, maka syarat yang harus dipenuhi adalah yadan bi yadin (harus tunai), meskipun beda timbangan.
    Perlu dipahami bahwa uang dan emas memiliki ‘illah yang sama yaitu alat untuk jual beli dan sebagai alat ukur nilai harta benda lainnya, walau keduanya beda jenis.
    Syarat di atas disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.
    الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
    Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim no. 1584).
    الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
    Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai)” (HR. Muslim no. 1587).
    Jual Beli Emas via Internet
    Syaikh Sholeh Al Munajjid berkata,
    وأنا أظن أن شراء الذهب عبر الإنترنت لا يحصل يداً بيد لأنك ترسل لهم القيمة ثم يرسلون لك الذهب بعد مدة ، فإذا كان الأمر كذلك فالبيع بهذه الطريقة محرم
    “Aku merasa pembelian emas melalui internet tidak terpenuhi syarat yadan bi yadin –yaitu tunai. Karena setelah emas tersebut dibeli dengan mentranfser sejumlah, lalu emas tersebut dikirim setelah beberapa waktu. Jika demikian, jual beli emas seperti ini dihukumi haram” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 34325).
    Dalam fatwa Islamweb disebutkan pula,
    إلا الذهب والفضة، فلا يجوز لك شراؤهما عبر الإنترنت، لأنهما لا يسلمان للمشتري إلا بعد مدة، ومن المعروف أن الذهب والفضة لا يجوز شراؤهما بالعملات المتعامل بها اليوم إلا يداً بيد.
    وبالتالي، فهذا التعامل الذي يتضمن تأخير قبض الذهب عن مجلس التعاقد لا يجوز.
    “Kecuali emas dan perak, keduanya tidak boleh dibeli via internet karena transaksi via internet tidak terpenuhi syarat penyerahan secara langsung kepada pembeli kecuali setelah beberapa waktu lamanya. Padahal telah diketahui bahwa emas dan perak tidaklah boleh dibeli dengan suatu mata uang selain dengan jalan yadan bi yadin (tunai). Jadi, transaksi seperti ini yang di dalamnya tidak ada penyerahan emas secara tunai dalam majelis akad tidak dibolehkan” (Fatwa Islamweb no. 14119).
    Walau katanya emas tersebut disimpan di account si pembeli, namun kadang itu cuma klaim dari si penjual dan tidak pernah dibuktikan kalau emas tersebut benar-benar ada karena tidak pernah diserahterimakan. Sehingga seharusnya setiap muslim menjauhi bentuk transaksi semacam ini.
    Wa billahit taufiq.

    Riba Pun Ada Pada Dinar Dan Dirham

    Sebagian orang menganggap bahwa riba lebih pasti ada pada uang kertas karena kecenderungan inflasi yang lebih besar. Beda halnya dengan dinar dan dirham yang harganya relatif lebih stabil sehingga sulit terjadi riba. Padahal hakekat riba bukanlah karena kestabilan nilai dari suatu mata uang. Riba itu dapat terjadi karena adanya penambahan ketika komoditi ribawi yang sejenis ditukar atau penambahan itu terjadi karena sebab penundaan. Risalah kali ini adalah sebagai nasehat bagi pendaulat dinar dan dirham sebagai tanda kasih dari kami pada sesama muslim.
    Mengenal Dinar dan Dirham
    Dinar dan dirham berasal dari bahasa Persia yang kemudian diadopsi menjadi bahasa Arab. Dinar merupakan potongan emas yang dicetak dan diukur dengan timbangan mitsqol. Para fuqoha menuturkan bahwa satu dinar setara dengan satu mitsqol.
    Adapun dinar aslinya berasal dari negeri Romawi. Dinar sendiri telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
    وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ
    Dan di antara mereka (ahli kitab) ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu …” (QS. Ali Imron: 75).
    Sedangkan dirham berasal dari bahasa Yunani yang diadopsi menjadi bahasa Arab. Dirham adalah di antara mata uang yang terbuat dari perak. Mengenai dirham disebutkan dalam ayat,
    وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
    Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf” (QS. Yusuf: 20). Namun dirham ada berbagai macam jenis dan berbeda dalam timbangan.
    Yang dijadikan patokan dalam syar’i, dinar dan dirham menggunakan timbangan penduduk Mekkah sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
    الوزن وزن مكة والمكيال مكيال أهل المينة
    Standar timbangan adalah timbangan penduduk Mekkah dan standar takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR. Ibnu Hibban 8: 77, sanad shahih). Ukuran dinar syar’i ini tidak berubah di masa jahiliyah dan di masa Islam. Berdasarkan ijma’ (kata sepakat ulama), 7 dinar sama dengan 10 dirham. Jadi bisa dikatakan bahwa 1 dinar sama dengan 10/7 atau 1.42 dirham. Ibnu Qudamah berkata, “Dirham yang dianggap sebagai nishob adalah setiap 10 dirham setara dengan 7 mitsqol yaitu dengan ukuran mitsqol emas” (Al Mughni, 2: 596). Jika kita menyetarakan dinar dan dirham dengan ukuran gram, maka pendapat yang lebih kuat adalah 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas dan 1 dirham setara dengan 2,975 gram perak. Demikian pendapat yang dianut oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan menjadi pegangan Al Mawshu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah.[1]
    Haruskah Menggunakan Dinar dan Dirham?
    Sudah diterangkan bahwa dinar dan dirham asalnya bukan mata uang negeri Islam. Bahkan asalnya dari luar Arab lalu diadopsi setelah itu menjadi mata uang di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Intinya, jika dinar dan dirham diklaim sebagai mata uang Islam, itu keliru. Begitu pula jika dipaksakan setiap umat Islam harus menggunakan dua mata uang tersebut itu juga keliru. Karena dinar dan dirham termasuk fi’il ‘adat atau kebiasaan di masa beliau, bukan hal yang sunnah atau bahkan wajib. Jadi perbuatan beliau memakai dinar dan dirham di masanya karena inilah adat setempat, bukan suatu bentuk qurbah atau ibadah. Sama halnya dengan pakaian yang beliau kenakan disesuaikan pula dengan keadaan sekitarnya. Jika dinar dan dirham itu lebih stabil nilainya, itu masalah lain.
    Fakta Sejarah Mengenai Dinar dan Dirham
    Jika ada yang mengatakan bahwa nilai mata uang kertas saat ini mudah mengalami fluktuasi beda halnya dengan dinar dan dirham atau emas dan perak. Realitanya, dinar dan dirham pun sebenarnya mengalami fluktuasi. Demikianlah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri.
    Dikisahkan bahwa Ibnu ‘Umar pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Aku biasa berdagang onta di daerah Baqii'. Aku menjual dengan harga dinar. Akan tetapi ketika pembayaran aku menerima pembayaran dengan uang dirham. Dan kadang kala sebaliknya, aku menjual dengan harga dirham, namun aku menerima pembayaran dengan uang dinar. Demikianlah, aku menjual dengan mata uang ini, akan tetapi ketika pembayaran aku menerimanya atau membayarnya dalam bentuk mata uang lainnya." Menanggapi pertanyaan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak mengapa engkau melakukan hal itu dengan harga yang berlaku pada hari itu juga, asalkan ketika engkau berpisah (dari lawan transaksi) tidak tersisa sedikit pun pembayaran yang harus dibayarkan." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan lainnya. Menurut banyak ulama' jalur sanad hadits ini mawquf, hanya berhenti sampai Ibnu Umar).
    Kisah ini telah menjadi bukti nyata bahwa nilai mata uang dinar dan dirham bersifat fluktuatif, naik dan turun selaras dengan perubahan berbagai faktor terkait.
    Perubahan nilai dinar dan dirham bisa saja terjadi karena tindakan ceroboh manusia itu sendiri. Di antaranya banyak pemalsuan dinar dan dirham, juga banyaknya pemotongan uang dinar dan dirham yang kemudian diubah fungsinya menjadi perhiasan atau batangan atau lainnya, ditambah lagi karena adanya hukum pasar yang terwujud pada perbandingan antara penawaran dan permintaan (supply and demand).
    Pandangan Riba pada Dinar & Dirham
    Riba seperti telah kita ketahui bersama berarti tambahan, sebagaimana makna secara bahasa. Sedangkan secara istilah berarti tambahan pada sesuatu yang khusus.
    Pembicaraan mengenai riba dapat kita lihat pada hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
    الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
    Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim no. 1584).
    Hadits di atas menunjukkan menunjukkan bahwa jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus tunai (yadan bi yadin) dan harus dengan timbangan yang sama (mitslan bi mitslin). Jika emas ditukar dengan sesama barang yang masih memiliki ‘illahyang sama yaitu sama-sama sebagai alat untuk jual beli dan sebagai alat ukur nilai harta benda, maka satu syarat yang mesti dipenuhi yaitu harus tunai (yadan bi yadin). Mata uang memiliki ‘illah yang sama dengan emas dan perak. Oleh karenanya jika emas ingin ditukar dengan mata uang, atau kita katakan bahwa emas ingin dibeli, maka syarat yang harus dipenuhi adalahyadan bin yadin.
    Jika syarat yang diberlakukan di atas tidak terpenuhi, maka akan terjerumus dalam riba. Jika ada kelebihan timbangan dalam penukaran barang sejenis –semisal emas dan emas-, maka terjerumus dalam riba fadhel. Sedangkan jika emas dibeli secara tidak tunai atau emas dijual via internet, maka terjerumus dalam riba nasi-ah karena adanya penundaan dalam penyerahan emas. Karena sekali lagi syarat dalam penukaran atau penjualan emas adalah adanya qobdh atau serah terima tunai. Ini syarat yang tidak bisa ditawar-tawar.
    Jelaslah di sini bahwa riba pada mata uang kertas terjadi bukan karena nilainya yang fluktuatif. Riba pada uang kertas bisa terjadi karena ia sebagai alat tukar dalam jual beli atau alat pengukur kekayaan seseorang. Dan ini pun berlaku pada emas dan perak. Jadi emas dan perak pun bisa terdapat riba. Ini yang mesti dipahami.
    Sekedar bermodalkan semangat untuk kembali pada dinar dan dirham tanpa memperhatikan aturan dalam shorf (penukaran emas), itu jelas keliru. Inilah yang kurang diperhatikan oleh para aktivis pendaulat dinar-dirham. Semoga Allah senantiasa memberikan kita semangat untuk membela Islam namun dilandasi dengan ilmu dan bashiroh.
    Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.